Latest Updates

Pengertian, Kelebihan, Kekurangan dari GUI dan CLI

Pengertian, Kelebihan, Kekurangan dari GUI dan CLI
1.  Perbedaan CLI dan GUI:
Kalau pada OS debian berbasis teks(CLI) instalasinya menggunakan command, sedangkan pada os debian yang berbasis GUI tidak.

2.    Kelebihan GUI:
a.    Desain Grafis lebih menarik.
b.    GUI memungkinkan user untuk berinteraksi dengan komputer secara lebih baik.
c.    Memudahkan pengguna.
d.    Menarik minat pengguna.
e.    Resolusi gambar yang tinggi.

Kekurangan GUI:
a.    Memakan memory yang sangat besar.
b.    Bergantung pada perangkat keras.
c.    Membutuhkan banyak tempat pada layar komputer.
d.    Tidak fleksibel.

Kelebihan Menggunakan CLI:
a.    Dapat lebih mudah membuat folder bersama subfolder nya.
b.    Dapat melihat file di suatu harddisk atau folder secara keseluruhan maupun yang di hidden.
c.    Dapat mengcopy file lebih cepat dibandingkan sistem operasi berbasis GUI (Graphic Unit Interface).
  
Kekurangan Menggunakan CLI:
a.    Resiko Kehilangan file lebih besar jika kita sedang ceroboh atau tidak fokus.
b.    Tempilan kurang menarik.
c.    Pengoperasian nya masih berbasis teks.

Sistem Operasi Jaringan - Tes Formatif 1

Sistem Operasi Jaringan - Tes Formatif 1
1. Pengertian Sistem Operasi!
Sistem Operasi Jaringan adalah sebuah sistem operasi yang ditunjukan untuk menangani jaringan. Umumnya, sistem operasi ini terdiri atas banyak layanan atau service yang ditunjukan untuk melayani pengguna seperti layanan berbagi berkas, layanan berbagi alat pencetak (printer) DNS Service, HTTP Service dan lain sebagaianya.

2. Contoh Sistem Operasi Jaringan:a.    Microsoft MS-NET.
b.    Microsoft LAN Manager.
c.    Novell NetWare.
d.    Microsoft Windows NT Server.
e.    GNU/Linux.
f.    Bayan VINES.
g.    Beberapa varian LINUX, seperti SCO OpenServer,Novell UnixWare, atau Solaris.

3. Pengertian Sistem Operasi Jaringan !
Sistem Operasi Jaringan adalah sebuah sistem operasi yang ditunjukan untuk menangani jaringan, sedangkan Sistem Operasi adalah perangkat lunak computer/software yang bertugas untuk melakukan control dan management perangkat keras dan juga operasi dasar system.

4. Kelebihan menggunakan sistem operasi terbuka (open source) dibandingkan tertutup (proprietary):
a.    Lisensi gratis, meskipun ada yang berbayar biasanya tidak semahal Proprietary Software.
b.    Jumlah user tak terbatas.
c.    Aplikasi dapat digandakan.
d.    Kode sumber program terbuka, isinya dapat dilihat, dipelajari, dimodifikasi.
e.    Dukungan ditangani oleh perusahaan atau komunitas.

Kekurangan menggunakan sistem operasi terbuka (open source) dibandingkan tertutup (proprietary):a.    Kompabilitas hardware tidak terjamin (terutama pada sistem operasi).
b.    Interface terkadang tidak user friendly.
c.    Masih terus dalam pengembangan dan penyempurnaan.

5. Kemungkinan aplikasi user untuk berjalan langsung tanpa melalui system operasi, tidak mungkin. Aplikasi User Tidak Mungkin Untuk Dapat Berjalan Tanpa Sistem Operasi Dikarenakan Tanpa sistem operasi, pengguna tidak dapat menjalankan program aplikasi pada komputer mereka, kecuali program aplikasi booting.
Karena Sistem Operasi berfungsi sebagai penghubung antara lapisan hardware dan lapisan software.

Sistem Operasi Jaringan - Tes Formatif 2

Sistem Operasi Jaringan - Tes Formatif 2
1. Apa yang dimaksud dengan kebutuhan dalam kaitannya dengan analisa kebutuhan perangkat lunak server?
Yang di maksud dengan kebutuhan dalam kaitannya dengan analisa perangkat lunak server adalah penganalisaan tentang kebutuhan – kebutuhan untuk sebuah server baik itu kebutuhan minimal sampai kebutuhan maksimal server itu sendiri. Analisa kebutuhan adalah sebuah proses untuk mendapatkan informasi, model, spesifikasi tentang perangkat lunak yang diinginkan.
Penentuan kebutuhan akan sistem operasi jaringan dapat diketahui dengan memahami user yang akan menggunakan sistem tersebut. Sistem yang dipilih diharapkan merupakan sistem yang mampu menjalankan semua kebutuhan aplikasi yang diinginkan oleh user, termasuk didalamnya perangkat keras yang mendukung untuk menjalankan hal tersebut. Kecocokan perangkat keras dan perangkat lunak yang ada dalam sistem komputer ini biasa dikenal dengan istilah kompatibilitas.

2. Apa saja langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk dapat mengetahui kebutuhan perangkat lunak server?a.    Menentukan kebutuhan (requirement)
Lebih banyak berhubungan dengan pemakai. Hasil belum terstruktur.
•    Data atau informasi apa yang akan diproses
•    Fungsi apa yang diinginkan
•    Kelakuan sistem apa yang diharapkan
•  Antarmuka apa yang tersedia (user interfaces, hardware interfaces, software interface, dan communications interfaces)

b.    Sintesis
Mengubah kebutuhan yang belum terstruktur menjadi model atau gambar dengan memanfaatkan teknik dan metodeanalisis tertentu.

c.    Membuat dokumen Software Requirements Spesification (SRS). Sudah merupakan analisis yang lebih rinci, sebagai tahap awal perancangan.
Tujuan Dari Analisa Kebutuhan Perangkat Lunak Server
•    Agar Perangkat lunak server sesuai yang dibutuhkan pada jaringannya
•    Agar tidak terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan dengan perangkat yg tersedia
•    Untuk mencari kekurangan pada Perangkat Lunak server yang dibutuhkan
•    Agar kebutuhan client tercukupi

3. Mengapa diperlukan analisa kebutuhan dalam menentukan kebutuhan server?Agar server bisa di gunakan ataupun di fungsikan secara maksimal, sesuai dengan kebutuhan nya.

Kegiatan yang Mencerminkan Nilai-Nilai Demokrasi Pancasila

Kegiatan yang Mencerminkan Nilai-Nilai Demokrasi Pancasila
Identifikasikan kegiatan rutin masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi pancasila!

a. Di Lingkungan KeluargaPenerapan Budaya demokrasi di lingkungan keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a)    Kesediaan untuk menerima kehadiran sanak saudara;
b)    Menghargai pendapat anggota keluarga lainya;
c)    Senantiasa musyawarah untuk pembagian kerja;
d)    Terbuka terhadap suatu masalah yang dihadapi bersama.

b. Di Lingkungan MasyarakatPenerapan Budaya demokrasi di lingkungan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a)    Bersedia mengakui kesalahan yang telah dibuatnya;
b)    Kesediaan hidup bersama dengan warga masyarakat tanpa diskriminasi;
c)    Menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya
d)    Menyelesaikan masalah dengan mengutamakan kompromi;
e)    Tidak terasa benar atau menang sendiri dalam berbicara dengan warga lain.

c. Di Lingkungan SekolahPenerapan Budaya demokrasi di lingkungan sekolah dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a)    Bersedia bergaul dengan teman sekolah tanpa membeda-bedakan;
b)    Menerima teman-teman yang berbeda latar belakang budaya, ras dan agama;
c)    Menghargai pendapat teman meskipun pendapat itu berbeda dengan kita;
d)    Mengutamakan musyawarah, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah;
e)    Sikap anti kekerasan.

d. Di Lingkungan Kehidupan BernegaraPenerapan Budaya demokrasi di lingkungan kehidupan bernegara dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a)    Besedia menerima kesalahan atau kekalahan secara dewasa dan ikhlas;
b)    Kesediaan para pemimpin untuk senantiasa mendengar dan menghargai pendapat warganya;
c)    Memiliki kejujuran dan integritas;
d)    Memiliki rasa malu dan bertanggung jawab kepada publik;
e)    Menghargai hak-hak kaum minoritas;
f)    Menghargai perbedaan yang ada pada rakyat;
g)    Mengutamakan musyawarah untuk kesepakatan berrsama untuk menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan.

Jenis-Jenis Mikrokontroler Populer

Jenis-Jenis Mikrokontroler Populer
a). AVR
Mikrokonktroler Alv and Vegard’s Risc processor atau sering disingkat AVR merupakan mikrokonktroler RISC 8 bit. Karena RISC inilah sebagian besar kode instruksinya dikemas dalam satu siklus clock. AVR adalah jenis mikrokontroler yang paling sering dipakai dalam bidang elektronika dan instrumentasi.

Secara umum, AVR dapat dikelompokkan dalam 4 kelas. Pada dasarnya yang membedakan masing-masing kelas adalah memori, peripheral dan fungsinya. Keempat kelas tersebut adalah keluarga ATTiny, keluarga AT90Sxx, keluarga ATMega dan AT86RFxx.

b). MCS-51
Mikrokonktroler ini termasuk dalam keluarga mikrokonktroler CISC. Sebagian besar instruksinya dieksekusi dalam 12 siklus clock. Mikrokontroler ini berdasarkan arsitektur Harvard dan meskipun awalnya dirancang untuk aplikasi mikrokontroler chip tunggal, sebuah mode perluasan telah mengizinkan sebuah ROM luar 64KB dan RAM luar 64KB diberikan alamat dengan cara jalur pemilihan chip yang terpisah untuk akses program dan memori data.

Salah satu kemampuan dari mikrokontroler 8051 adalah pemasukan sebuah mesin pemroses boolean yang mengijikan operasi logika boolean tingkatan-bit dapat dilakukan secara langsung dan secara efisien dalam register internal dan RAM. Karena itulah MCS51 digunakan dalam rancangan awal PLC (programmable Logic Control).

c). PIC
Pada awalnya, PIC merupakan kependekan dari Programmable Interface Controller. Tetapi pada perkembangannya berubah menjadi Programmable Intelligent Computer. PIC termasuk keluarga mikrokonktroler berarsitektur Harvard yang dibuat oleh Microchip Technology. Awalnya dikembangkan oleh Divisi Mikroelektronik General Instruments dengan nama PIC1640. Sekarang Microhip telah mengumumkan pembuatan PIC-nya yang keenam.

d). ARM
ARM adalah prosesor dengan arsitektur set instruksi 32¬bit RISC (Reduced Instruction Set Computer) yang dikembangkan oleh ARM Holdings. ARM merupakan singkatan dari Advanced RISC Machine (sebelumnya lebih dikenal dengan kepanjangan Acorn RISC Machine). Pada awalnya ARM prosesor dikembangkan untuk PC (Personal Computer) oleh Acorn Computers, sebelum dominasi Intel x86 prosesor¬ Microsoft di IBM PC kompatibel menyebabkan Acorn Computers bangkrut.

Tumpak Punjen lan Tumplak Punjen

Tumpak Punjen lan Tumplak Punjen

Kabudayan Jawa nduweni upacara adat sing diarani tumpak punjen lan tumplak punjen. Upacara tumpak punjen iku katindakake ing kalane wong mantu kang kepiasan, dene tumplak punjen iku katindakake ing kalane wong mantu kang pungkasan.

Punjen tegese pundhi-pundhi utawa celengan. Tembung tumpak punjen maknane tumapak ngiseni celengan. Sarehdene lagi mantu sepisan, mula kudu ngati-ati anggone nanjakake lakune ekonomi. Para luhur paring pitutur kanthi pralambang utawa pasemon tumpak punjen menawa diwedharake mangkene. "Kowe kudu ngati-ati mecaki urip kang bakal kelakon, butuhmu isih akeh banget, mula sing gemi nastiti ngati-ati, nyelengana dhuwit saben dina."

Tumplak punjen uga pralambang lan pasemon. Tumplak tegese ngesok. wong kang mantu pungkasan mono karepe mung kari iku butuhe.

ADAT JAWA - Upacara Tumplak Punjen

ADAT JAWA - Upacara Tumplak Punjen
Werdining Upacara Tumplak Punjen
Cekaking atur bilih upacara TUMPLAK PUNJEN punika satunggaling kabudayan Jawi ingkang adi luhung, liripun upacara punika mengku sasmita; antawisipun
  1. Dados srana donga pamuji atur panuwun wonten ngarsa Dalem Pangeran
  2. Dados srana nelakaken raos bingahing manah, awit saged nuntasaken tugas lan kewajiban jejering tiyang sepuh ( saged peputra, lan saged nggulawenthah,lan mala kramakaken para putra )
  3. Dados srana anggenipun saged mbagi kabingahan dumateng para putra tuwin para kadang kinasih, inggih sedherek lan tangga tepalih
  4. Dados srana pangajabing tiyang sepuh,.mligi kangge para putra wayah, kanthi mbagi udhik-udhik
  5. Tumrap para putra wayah dados srana anggenipun sami nelakaken raos bingah bilih rama ibu kaparingan panjang yuswa
Pramila tradisi punika satunggal pemut dumateng sok sintena, nalika sami nnampi kanugrahan inggih punika GESANG. Mila ujaring para winasis tradisi adat punika sageda dados tuntunan, totonan, sumrambahipun mligi kagem para putra wayah anggenipun nelakaken kabungahan wekdal semanten.

Pramila wonten ingkang adicara tumplak punjen, tatalaksitaning upacara sarta ubarampe dados lambang ingkang kebaging samudana. Kados:.
  1. Sungkeman para putra, kinarya pratanda anggenipun caos bekti, saha anggenipun ngurmati dumateng rama lan ibunipun
  2. Paringipun anggi-anggi dhumateng para putra, kinarya tanda anggenipun rama-ibu anglintiraken kabingahan lan kabegjanipun
  3. Nyebar udhik-udik kinathi tanda anggenipun tresna asih dumateng para wayah-wayahipun
Yen miturut gotheking ngakathah bilih upacara tumplak punjen ugi dados srana paring pusaka adi, tumusing anggenipun paring sabdatama kados ingkang dipun paringaken Rama Ibu Prop Dr. Bambang Sumiarto dumateng para putra-putrinipun ing wanci punika, kinanthi candra sengkala , “ARUM ILANG TANPA NETRA”. Ingkang mengku werdi, bilih kasaenan ingkang sampun kawentar, datan wurung badhe ical tanpa lari jer boten linambaran saking telenging manah. Mula lajeng tumusing piweling:
  • NGLUHURNA MRING AllAHIRA
  • NGLUHURNA WONG TUWANIRA
  • AJA LALI MARANG SEDULURIRA
  • TUMINDAK,TUMANDUK MRIH ARUMING BUDI
  • JAGANEN JEJEGING KAUTAMAN
( Gesang kedah ngluhuraken Allah, tiyang sepuh, sederekipun sumrambah ing sesami. Tuwin tansah ngupadi jejeging kautaman)

Ubarampe Upacara:
Anggi-anggi punika wujudipun: arta, wujud wiji kados upami uwos / beras, dhele, tholo, kacang ijo lan jagung, sarta kunir ( kaparut), dlingo bengle kairis-iris, lan sekar setaman. ingkang dipun lebetaken kanthong utawi srana sanesipun
Dene anggi-anggi kapilah dados kalih:
  1. ingkang dipun wadhahi kanthong, mligi kagem para putra lan putra mantu, sarta putra ragil ingkang krama wekdal semanten
  2. ingkang dipun wadhahi bokor/cupu , mligi kagem para wayah, sarta ingkang mbetahaken
Tata upacaranipun Tumplak Punjen
Upcara punika dipun tindakaken sasampunipun upacara kacar-kucur dhahar klimah, nanging saderengipun sungkeman manten.
Dene urutanipun inggih punika:
  1.  para putra lan putra mantu, sami sowan jengkeng lan sungkem rama ibunipun
  2. yen sampun dipun sungkemi tiyang sepuh lajeng maringi kanthong anggi-anggi wau,
  3. salajengipun tiyang sepuh maringaken dhateng putra ing nembe krama. Ugi lumantar wakil ( putranipun ingkang dipun sepuhaken) maringi sedherek-sedherekipun ingkang sampun dipun sametakaken
  4. kantun piyambah, maringaken anggi-anggi kagem para wayah, kanthi cara anggi-anggi ingkang wonten cupu dipun sebaraken, para wayah sami ngrayah. Kanthun piyambah cupu wau lajeng dipun tumplak (dipun kurepaken) kanthi ngendika “WIS RAMPUNG” Dene anggenipun numplak ing jogan sangajenging putra manten lenggah (siniwaka) , Inggih kanthi makaten numplak cupu/bokor dados werdining upacara tumplak punjen
  5. salajengipun nembe methuk besan. Lajeng putra penganten sami sungkem rama ibunipun.

Relevansi Pemikiran Al-Ghazali dengan Prosesi Pendidikan Era Modern

Relevansi Pemikiran Al-Ghazali dengan Prosesi Pendidikan Era Modern
Relevansi Pemikiran Al-Ghazali dengan Prosesi Pendidikan Era Modern

1. Tujuan Pendidikan Islam

Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: 
  • Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan
  • Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.


2. Materi Pendidikan Islam

Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.

Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.


3. Metode pendidikan Islam

Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah.

Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.

Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.

Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.

Konsep Ilmu, Pendidikan Akhlak, dan Pendidikan Anak Menurut Al-Ghazali

Konsep Ilmu, Pendidikan Akhlak, dan Pendidikan Anak Menurut Al-Ghazali
A. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali

Dalam pandangan Al Ghazali, ilmu terbagi menjadi tiga bagian yaitu: pertama, Ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan).

Kedua, Ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya. Bagi Al Ghazali, ilmu yang wajib ‘ain adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang wajib kifayah adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya yaitu ilmu kedokteran dan ilmu hitung.

Ketiga, Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dapat menyebabkan kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kepada kekafiran seperti ilmu filsafat. Al Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih.


B. Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali

Berangkat dari keyakinan bahwa Akhlaq dapat berubah dan di bentuk melalui pendidikan dan proses usaha keras (Mujahadah), latihan jiwa (Riyadlah), pensucian jiwa dari sifat jelek (Tazkiyah), Al-Ghazali menegaskan tiga hal penting;
  1. Perbedaan pandangannya dengan kelompok Jabariyah [20]. Al-Ghazali berargumen, bahwa jika akhlak tidak dapat di rubah, maka peringatan, pendidikan Adab dan pesan yang di sampaikan agama tidak ada artinya. Padahal jelas, misalnya sabda Rasul tentang kewajiban memperbaiki Akhlak. Dan fakta bahwa ternyata bukan hanya manusia yang dapat menerima perubahan karakternya, namun juga hewan seperti anjing yang buas, menjadi penurut. Jika akhlak hewan saja dapat berubah, kenapa manusia tidak?
  2. Hubungan yang tidak dapat terlepas antara pembentukan akhlak dengan agama. Melalui pendapatnya bahwa, jika akhlak tidak dapat di bentuk seperti persangkaan kaum Jabariyah, maka, ada tidaknya agama tidak menjadi penting. Pesan, peringatan dan didikan agama akan menjadi sia-sia, Al-Ghazali ingin menegaskan bahwa pembentukan akhlak kiranya harus di dasarkan kepada ajaran agama, karena ia sendiri merupakan sarana untuk mendapat keridlaan Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan kalangan pendidik modern yang menyatkan bahwa akhlak haruslah di dasarkan kepada nilai dan morma sosial yang berlaku.
  3. Pentingnya peran guru dalam pembentukan akhlak. Di akui dalam dunia pendidikan, bahwa peran guru dalam membentuk kepribadian anak didik sangatlah penting dan menentukan. Misalnya para pakar seperti Al-Hazimy, Abu Lawi, Abul Hasan An-Nadwi dan para pakar pendidikan modern, ketika menjelaskan tentang metode pendidikan, faktor keteladanan (Qudwah) guru menjadi sangat penting. Ketika pendidikan modern meyakin kalau anak didik cenderung mengikuti perilaku gurunya karena ia adalah peniru paling ulug, maka harus di sepakati jika peran guru sangatlah penting.
Dalam hal ini al-Ghazali berpendapat, mencari guru yang dapat mengantarkan anak didik menuju kepribadian yang suci dengan menghapuskan akhlak yang jelek, sangatlah penting. Guru ibarat petani yang menyingkirkan duri dari ladangnya dan merawat tanamnnya dengan baik baik, agar dari ladang tersebut, dapat menghasilkan buah yang baik dan sempurna. Jadi, guru mempunyai tugas yang berat yaitu mengantarkan anak didik berakhlak mulia, dan menggali potensinya. Guru harus menguasai ilmu agama terkait pembentukan akhlak dan ilmu seputar penggalian potensi anak didik tersebut.


C. Pendidikan Anak Menurut Al-Ghazali

Ketika manusia mempunyai tugas dan bertanggung jawab untuk kemakmuran dunia, maka dia membutuhkan pendidikan yang menyeluruh dalam setiap aspek dan setiap fase dalam kehidupannya dalam rangka kemakmuran tersebut. Kalau di Tanya, kapan dia memulai pendidikannya? Mungkin jawaban yang paling bijak adalah; saat dia mampu menerima pendidikan. Mulai dari usia dini di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), Remaja di Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan usia Remaja di Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga menuju pendidikan tingkat tinggi di Universitas.

Al-Ghazali melihat bahwa pendidikan anak usia dini sangatlah penting, karena pembentukan kepribadian sejak kecil, akan berdampak kepada fase kehidupan setelahnya, menancap dalam, seperti lukisan di atas batu. Di mulai dari pendidikan keluarga dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajarannya, misalnya; dengan tidak membiasakan hidup dalam kenikmatan dan mengisi fitrahnya dengan bacaan al-Qur’an, memberikan hadiah dalam setiap tingkah laku dan tindakan yang baik dari anak untuk menancapkan rasa percaya diri dalam dirinya, tidak menonjolkan kesalahan yang ia buat serta memberikan izin kepada anak untuk bermain dan beristirahat sekedarnya, karena melarang bermain bagi anak akan mematikan rasa dari hatinya dan menghancurkan potensi kecerdasannya.

Kemudian di lanjutkan dengan pemahaman tentang kewajiban dan hikmah yang terkandung di dalamnya serta larangan dan alasan di jauhinya. Tentang kewajiban misalnya, seperti:
  1. Berbakti kepada kedua orang tua, dan menghormati yang lebih tua.
  2. Memperlakukannya dengan penuh kemuliaan, seperti, dengan tidak iktu serta bermain dengannya.
  3. Tidak memberikan toleransi saat meninggalkan sholat.
  4. Melatih puasa ketika bulan Ramadlan.
  5. Melarang memakai pakaian dari sutera dan emas.
  6. Memberikan pemahaman tentang kewajiban yang harus di lakukan seperti sholat dan lainnya. Sedangkan tentang larangan yang harus di jauhi seperti; mencuri, memakan barang haram, berkhiantan, berbohong dan lainnya

Pemikiran pendidikan Islam menurut Al-Ghazali

Pemikiran pendidikan Islam menurut Al-Ghazali
Sistem pendidikan Al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failasuf al-Mutasawwifin) Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikannya al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.
  • Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqorrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekaykan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan.

Al-Ghazali berkata: “hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah keberasan, pengaruh penerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri”

Rumusan tujuan pendidikan didasarkan kepada firman Allah SWT, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu:
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56).

Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui pengajaran.

Kesimpulan tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan kedalam beberapa point berikut:
  1. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
  2. Menggali dan mengambangkan potensi atau fitrah manusia.
  3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
  4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
  5. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manisiawi

  • Kurikulum Pendidikan
Kurikulum dimaksudkan disini adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dipahami dari pandangan mengenai Ilmu Pengetahuan.

Kurikulum pendidikan yang disusun al-ghazali sesuai pandangannya mengenai tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan tolak ukur manusia. Untuk menuju kesana diperlukan ilmu pengetahuan. Mengurai kurikulum pendidikan menurut al-ghazali, ada dua hal yang menarik bagi kita. Pertama, pengklasifikasian terhadap ilmu pengetahuan yang sangat terperinci dalam segala aspek yang terkait dengannya. Kedua, pemikiran tentang manusia dengan segala potensi yang dibawanya sejak lahir.

  • Faktor Pendidikan
a. Pendidik
Dalam proses pembelajaran, Al-Ghazali berpandangan bahwa Pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan prosesi pendidikan.
Dalam hal ini al-ghozali berkata: “makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilanya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntutnya untuk dekat kepada Allah”. Dia juga berkata; “seseorang yang berilmu dan kemuudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakn oranbg besar dibawah kolong
langit ini. Ia bagai matahari yang menyinari orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum.“

b. Peserta Didik
Al-ghazali berkata: “Seorang pelajar hendaknya tidak menyobongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah sepenuhnya kepada gurudengan keyakinan kepada segala nasihatnya sebagaimana seoorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya seorang pelajar itu tunduk kepada gurunya, mengaharap pahala dan kemuliaan dengan tunduk kepadanya.”
Ramayulis dalam bukunya “Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam” [19] menyebutkan beberapa sikap peserta didik yang harus diaplikasikan, diantaranya; pertama, peserta didik arus bersikap memuliakan pendidik dan rendah hati serta tidak takabbur. Kedua, peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya. Sebagai satu bangunan, maka peserta didik harus saling menyayangi, tolong menolong sesama. Ketiga, peserta didik harus menjauhkan diri dari membaca mazhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran. Dan keempat, peserta didik tidak hanya mempelajari satu ilmu pengetahuan saja, tapi semua jenis ilmu pengetahuan yang bermanfaat harus dipelajari.

  • Metode dan Media
Metode dan media yang dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajarannya. Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali tentang metode dan metode pengajaran. Misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil nagli dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media/alat digunakan dalam pengajaran. Beliau menyetujui adanya pujian (reward) dan hukuman (punishment), di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia (kondusif).

  • Proses Pembelajaran
Al-Ghazali mengajukan konsep integrasi antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehinggga dapat menumbuhkembangkan segala potensi fitrah anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syariat, terutama al-Qur’an.

Pemikiran Al-Ghazali

Pemikiran Al-Ghazali
1. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.


2. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatNya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.

 
3. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Karya-karya Al-Gazali

Karya-karya Al-Gazali
Karya-karya Al-GazaliKeistimewaan yang luar biasa dari Al-Gazali adalah dia seoarang pengarang yang sangat produktif. Menurut catatan Sulayman Dunya, banyaknya karangan Al-Gazali mencapai jumlah 300 buah. Diantara 300 buah karangan Al-Gazali, hanya beberapa buah saja yang dapat diselamatkan dari cengkeraman keganasan para penguasa yang mengobrak-abrik Negara Islam dimasa itu. Berikut beberapa karya dari Al-Gazali:
  1. Yaqut ut ta’wiel fi tafsier et tanziel (penafsiran Al-Qur’an menurut sebab-sebab-sebab turunya ayat-ayat Al-Qur’an)
  2. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia)
  3. Al Madhnun bihi ‘ala ghairi ahlihi (ilmu yang harus disembunyikan dari orang-orang yang bukan ahlinya).

Karya-Karya Ilmiah Imam al-Ghazali  adalah seorang penulis yang produktif, ia meninggalkan kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan, ia menyusun kurang lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu terutama dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan sejarah.
Adapun karya-karya Imam Al-Ghazali yang telah ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu antara lain:

1. Bidang Akhlak dan Tasawuf
  • Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama)
  • Minhaj al-‘Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah)
  • Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
  • Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan)
  • Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak Orang-orang yang Baik dan Keselamatan dari Kejahatan)
  • Misykah al-Anwar (Sumber Cahaya)
  • Asrar ‘Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama)
  • Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang Megah dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat)
  • Adab al-Sufiyah.
  • Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)
  • Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaan)
  • Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal Batin) 

2. Bidang akhlak dan tasawuf
  • Miezan ul ‘amal (neraca amal)
  • Keimiya us sa’adah (kimianya kebahagiaan)
  • Kitab ul Arba’ien (empat puluh prinsip agama)
  • At Tibrul masbuk fi nashiehat el muluk (mas yang sudah di tatah untuk menasehati para penguasa)
  • Al Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).[5]

3. Bidang Fiqh
  • Al-Basit (Yang Sederhana)
  • Al-Wasit (Yang Pertengahan)
  • Al-Wajiz (Yang Ringkas)
  • Al-Zari’ah ila Makarim al-Syari’ah (Jalan Menuju Syari’at yang Mulia)
  • Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang Logam Mulia: Uraian tentang Nasihat kepada Para Raja)

4. Bidang Ushul Fiqh
  •  Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (Pilihan yang Tersaring dari Noda-noda Ushul Fiqh)
  • Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil (Obat Orang yang Dengki: Penjelasan tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-cara Pengilhatan)
  • Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)
  • Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)
  • Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.
  • Kitab Asas al-Qiyas.

5. Bidang Filsafat dan Logika
  •  Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf)
  • Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf)
  • Mizan al-‘Amal (Timbangan Amal)
  • Mi’yar al-‘Ilm fi al-Mantiq.
  • Ilmu kalam (theology)
  • Ilmu falsafah umum (‘aqliyah)
  • Aliran kaum Syie’ah Bathiniyah (mazhab ahli ta’liem)
  • Ilmu tashawwuf (metafisika)

6. Bidang Teologi dan Ilmu Kalam
  •  Iqtisad fi al-I’tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad)
  • Fais}al at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Islam dan Kezindikan)
  • Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus)
  • Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.

7. Bidang keagamaan
  • Ihya’ ‘ulum ed dien (menghidupkan ilmu-ilmu agama)
  • Al Munqiz minad dhalal (terlepas dari kesesatan)
  • Minhaj ul ‘Abidien (jalan mengabdi Tuhan)

8. Bidang Ilmu al-Qur’an
  • Jawahir al-Qur’an (Mutiara-Mutiara al-Qur’an)
  • Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam Menafsirkan al-Qur’an). 
9. Bidang Politik
  • Al-Mustazhiri, nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan Pemerintah Mustazhir yang Legal)
  • Fatihat al-‘Ulum (Pembuka Pengetahuan)
  • Suluk as-Sulthaniyah (Cara Menjalankan Pemerintahan).

Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali

Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali
Kehidupan pemikiran periode al-Ghazali  dipenuhi dengan munculnya berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu ‘Abdillah al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430 H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.

Al-Ghazali  menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya  menjadi empat aliran populer, yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi. Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq (intuisi). 

Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali  yang semula memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan (syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab menurut Hadits nabi “ Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orangtuanya.  Oleh karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali  menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini kebenarannya.

Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali  menduga bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang  tergolong al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis). Sebab kedua pengetahuan ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan bersalah. Kepercayaan al-Ghazali  terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal.  Seperti pengetahuan aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (Fardhi)  saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual.

Al-Ghazali  kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mati. Al-Ghazali  menyimpulkan ada situasi normal dimana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan intelektual al-Ghazali  berakhir pada wilayah tasawuf dimana ia meyakini al- dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.
Namun demikian pandangan al-Ghazali  yang bernuansa moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya,  terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya dalam kitab Maarijal Quds dan pembagiannya dalam  jiwa vegetatif, jiwa sensitif, dan jiwa manusia hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu Sina dalam bukunya Al Najal. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya sendiri  dalam kitab Tahafut al-  Falasifat bahwa yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani adalah al-Farabi dan Ibnu Sina.

Pandangan al-Ghazali  yang lain yang berkaitan dengan filsafat Yunani melalui filosof muslim adalah tentang pokok-pokok keutamaan. Menurut al-Ghazali  inti keutamaan adalah keseimbangan (al-adl) antara daya yang dimiliki manusia . Inti kebahagiaan menurut al-Ghazali  juga sampainya seseorang pada tingkat kesempurnaan tertinggi yaitu mengetahui hakekat segala sesuatu. Pendapat yang serupa telah dijumpai pada filosof muslim pendahulunya yaitu Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih dan al-Farabi.

Sedangkan metode untuk memperbaiki moral antara lain mempunyai konsep muhasabat al nafs menjelang tidur pada setiap hari, dan dalam beberapa hal ia menganjurkan taubikh al nafs (mencerca diri). konsep  koreksi diri ternyata dijumpai dalam Pythgorisme, dan konsep mencerca diri ternyata ditemukan dalam Hermetisme. Sumber lain yang turut memberikan sumbangan pemikiran adalah para sufi. Diantaranya adalah Abu Thalib al-Makki, al Junaid al-Baghdadi, Al Sybli Abu Yazid al- Busthomi dan al Muhasibi.

Pandangan tasawuf yang didasarkan dari mereka adalah penempatan al-dzauq diatas akal. Ini diikuti dalam sikapnya membentuk kesempurnaan diri dengan menggunakan al-faqir (kemiskinan), al-ju’(lapar), al-khumil (lemah), al-tawakul (berserah diri) sebagai keutamaan dan tingkat ini harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan tertinggi manusia. Dari berbagai hal diatas inilah pandangan dan konstruk pemikiran al-Ghazali  terbentuk.

BIOGRAFI AL-GHAZALI

BIOGRAFI AL-GHAZALI
A.   Al-Ghazali  dan Lingkungan Keluarganya

Al-Ghazali  dikenal sebagai seorang teolog Muslim, ahli pendidikan, dan sufi abad pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus (sekarang dekat Meshed), sebuah kota di Persia. Sekarang daerah tersebut termasuk dalam propinsi Khurasan, Iran. Ia meninggal dunia di kampung halamannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Thaburan, wilayah Thus.)

Imam al-Ghazali ,) nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali  at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali  saja.Al-Ghazali  juga populer dengan sebutan Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama), al-Faqih asy-Syafi’i, dan Bahrun Mugriq. Ia juga dijuluki the Spinner yang berarti pemintal atau penenun.

Al-Ghazali  hidup pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah II. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di Thus, di luar kesibukannya, ia senantiasa menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan para ulama. Al-Ghazali  juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali  yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520). Kondisi keluarga yang religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama besar. Hanya saja saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding al-Ghazali  yang menjadi penulis dan pemikir.Ayah al-Ghazali  adalah seorang pencinta ilmu, bercita-cita tinggi, dan seorang muslim yang saleh yang selalu taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali  dan saudaranya, Ahmad masih kecil.Margaret Smith mencatat bahwa ibu al-Ghazali masih hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan saudaranya Ahmad sudah menjadi terkenal.

Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia sempat berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, Yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya tambahan. Maka al-Ghazali  dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali  yang penuh arti sampai akhir hayatnya.

Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali  adalah salah seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali  adalah  pakar ilmu syari’ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf, Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali  telah menulisnya secara mendalam, murni dan bernilai tinggi.

Banyak tokoh yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali. Imamal-Haramain (seorang mantan gurunya) misalnya, ia berkata “Al-Ghazali  adalah lautan tanpa tepi”. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam Muhammad bin Yahya berkata, “Imam Al-Ghazali  adalah asy-Syafi’i kedua”. Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya, yaitu Abu al-Hasan ‘Abdul Ghafir al-Farisiy, beliau mengatakan, “Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum Muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang  tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya, ucapannya, kecerdasan maupun tabiatnya.”

Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya spiritual. Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majlis dan khalwat mereka. Ia mempunyai sikap begitu mengagungkan yang mewarnai panca inderanya untuk berbakti kepada tokoh – tokoh agama dan ilmu pengetahuan, hingga ketika mendengar seorang penceramah atau seorang ahli hukum Islam sedang memberikan nasehat beliau memohon kepada Allah agar dianugerahi seorang ayah yang menjadi penceramah yang ahli memberi nasehat atau seorang ilmuan yang ahli ibadah.

Nampaknya, perasaan dan kecintaan psikologis yang menggelora ingin mencapai tingkat keluhuran ilmiah dan pensucian terhadap pakaian agama ini telah diwarisi oleh Al-Ghazali dari ayahnya, tetapi dalam bentuk lain. Karena sang anak mendapat kesempatan yang tidak ada pada sang ayah. Pada diri Al-Ghazali selalu kehausan dan terpacu untuk mencari tambahan dan serius mengkaji berbagai ilmu dan pengetahuan.[2]


B.    Pendidikan dan Karier Intelektual Imam Al-Ghazali  
Pendidikan al-Ghazali  di masa anak-anak berlangsung dikampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka. Dan kepadanyalah kali pertama al-Ghazali  mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh mereka, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus. 

Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin Mus’idah al-Isma’iliy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-Isma’iliy.

Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali  yang telah berusia 20 tahun berangkat lagi ke Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang ulama Asy’ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478 H. Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali  belajar kepadanya dalam bidang Fiqh, ilmu debat, Mantiq, Filsafat, dan ilmu kalam. Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali  dengan bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur. 

Disamping itu, al-Ghazali  juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu ImamYusuf al-Nasaj dan Imam Abu ‘Ali al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin ‘Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad al-Khuwariy, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i al-Zauzani, al-Hafiz Abu al-Fityan ‘Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi al-Dahistaniy, dan Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi.

Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali  mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan ‘Adud ad-Daulah Alp Arselan (455 H/1063M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465 H/1072 M-485 H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-‘Askar, sebuah kota di Persia. Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk. Wazir kagum atas pandangan-pandangan al-Ghazali  sehingga al-Ghazali  diminta untuk mengajar Fiqh asy-Syafi’iyah di perguruannya, Nizham al-Mulk, di Baghdad, yang lebih dikenal dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali  mengajar di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M.Pada saat inilah al-Ghazali  yang pada waktu itu berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai puncak kariernya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.

Empat tahun lamanya al-Ghazali  mengajar di Baghdad. Kemudian ia meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H. setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya, dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun 490 H/1098 M. dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina, dan melanjutkan perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun. Namun sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali  mendengar kabar kematian Amir tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan diangkat oleh Fakhr al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari Gubernur Khurasan, Sanjar yang merupakan salah seorang putra Malik Syah, sebagai Presiden dari perguruan di Nisabur pada tahun 1105.Tidak lama di Nisabur, kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari teologi, tasawuf, serta madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali  menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati.

Adapun beberapa tempat-tempat Al-Gazali memperoleh ilmu pengetahuan antara lain:
  1. Belajar di Thus, sampai pada usia 20 tahun. Dia mempelajari ilmu fiqih secara mendalam dari Razakani Ahmad bin Muhammad, dan kemudian dipelajarinya ilmu tasawuf dari Yusuf en Nassaj, seorang Sufi yang terkenal.
  2. Kemudian ke Jurjan pada tahun 479 H. Al-Gazali berpindah ke Jurjan melanjutkan pelajarannya. Guru yang terkenal ialah Nashar el Isma’ili. Tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di Jurjan, maka dia pulang kembali ke Thus selama 3 tahun lamanya.
  3. Setelah itu pindah lagi ke Naisabur untuk belajar pada seorang ulama besar yang sangat masyhur, Imam Haramain Al-Juwaini. Disinilah Al-Ghazali belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, seperti Fiqh, Jadal, Mantiq, Filsafat, dan sebagainya. Setelah Imam Haramain wafat pada 483 H, Al-Ghazali berkunjung ke Nizham Al-Mulk di kota Mu’askar. Beliau memperoleh penghormatan dan penghargaan yang luar biasa, sehingga majlisnya merupakan tempat berkumpul para Imam dan Ulama. Pada tahun 484 H beliau diangkat menjadi guru pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad.
 

C.   Latar Belakang Sosial Politik  
 
1.      Situasi Politik
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari kehidupan politik yang tidak jarang menumbuhkan benih-benih konflik baik internal maupun eksternal. Benih-benih konflik yang terjadi di kalangan umat Islam telah muncul secara jelas sejak masa Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang berselisih dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan pada saat inilah maka umat Islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan Ushul (teologi). Dalam medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah serta lahir Daulat Umawiyah yang berpusat di Damaskus (40-132 H) kemudian Daulat ‘Abbasiyah di Baghdad (132-656 H), disamping sisa Daulat Umawiyah di Spanyol (138-403 H), yang di masa Al-Ghazali  sudah terkeping-keping menjadi kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Tawa’if), dan Daulat Fathimiyyah/Isma’iliyyah di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan adanya pergeseran doktrin politik Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan diwarnai oleh konflik-konflik politik berkepanjangan.
 
Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” (‘Am al-Jama’ah) yang dipelopori oleh al-Hasan bin ‘Ali, Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Umar, tidak terbawa hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa ekses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama” dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh kemurnian Islam dan obyektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu dan dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.
 
Sepanjang perjalanan Daulat ‘Abbasiyah kompetisi dan konflik berlangsung antara Bani ‘Abbas dan Syi’ah-Mu’tazilah yang lebih dominan disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan, krisis politik Dinasti ‘Abbasiyah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas eksklusif Kekhalifahan ‘Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah ‘Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Diantaranya adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063 M) hingga akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M., tiga tahun sebelum al-Ghazali  lahir, sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buwaihi yang sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M).    
 
Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti Saljuk inilah terutama sejak dipegang oleh Sultan Alp Arselan lalu Malik Syah dengan wazirnya yang masyhur, Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya kembali. Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari adanya konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran keislaman.
 
Faktor eksternal yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti ‘Abbasiyah adalah kondisi Dinasti Fathimiy yang menganut Syi’ah Isma’iliyyah di Mesir yang sedang mengalami kemerosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis ekonomi, politik internal maupun karena desakan negara-negara Murabithin yang Sunny-Maliky di Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafiliasi ke ‘Abbasiyah. Sedang ‘Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah Timur dan Utara. Dengan sendirinya Isma’iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569 H) ikut menyusut.
 
Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah berubah drastis, yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-Ghazali. Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik/perang saudara yang berkepanjangan di kalangan istana (internal). Keadaan ini diperparah lagi dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma’iliyyah/Ta’limiyyah di Timur yang melancarkan teror-teror sehingga memakan korban, diantaranya adalah Wazir Nizham al-Mulk.
Dalam situasi seperti ini dunia Kristen Eropa melancarkan Perang Salib di Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syria dan mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils, dan Ruha sejak tahun 490 H/1098 M.
 
Sementara itu al-Ghazali  masih berkhalwat mencari ’ilmu yaqini di Syam dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fathrah (vacum dari pembimbing keagamaan), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dilakukan pembaharuan (tajdid) atau “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (Ihya’ ‘Ulum ad-Din). Dapat disimpulkan, pada saat itu al-Ghazali  hidup dalam suasana dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemerosotan dan kemunduran dalam beberapa aspeknya.
 
2.      Situasi Ilmiah dan Sosial Keagamaan
Pada masa al-Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial kegamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhabfiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme kepada umat. Dan 
terkadang, hal itu juga dilakukan pula oleh pihak penguasa.
Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, di Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanafi. Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan mazhab yang lain, seperti antara mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanbali. Konflik terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy’arisme dengan Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu’tazilah, antara Hanabilah dengan Syi’ah dan antara aliran-aliran yang lain.
 
Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”, yaitu konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah, karena pihak pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim”; dan konflik ini meminta korban seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan Hanabilah dengan Syi’ah; dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara Hanabilah dan Asy’arisme.       
 
Penanaman fanatisme mazhab dan aliran dalam masyarakat tersebut juga banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, di bawah status para penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para penguasa bisa memperoleh semacam legitimasi terhadap kekuasaannya di mata umat; sebaliknya dengan peran penguasa, para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena  itu para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, dan begitu pula sebaliknya. Di samping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di Khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. Di Damaskus pada masa itu, golongan sufi yang hidup di khankah-khankah dianggap kelompok istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa terkabul. Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Status ini, oleh sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan dan kemuliaan hidup dengan saran kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.
 
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural non-Islami terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya, yang pada gilirannya mengkristal dalam bentuk pelbagai aliran dan paham keagamaan, yang dalam  aspek-aspek  tertentu saling bertentangan.
 
Interdependensi antara penguasa dan para ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa yang selalu  memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatan-jabatan intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha pengembangan ilmu ini diarahkan oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu’tazilah. Memang, filsafat waktu itu tidak hanya menjadi konsumsi kalangan elit intelektual, tetapi sudah menjadi konsumsi umum. Bahkan ada sebagian orang yang sudah menerima kebenaran pemikiran filsafat secara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama dan pengamalannya. Adapun Mu’tazilah, selain banyak juga menyerap filsafat Yunani, juga merupakan aliran yang secara historis banyak menyengsarakan golongan Ahlussunnah, baik pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada masa al-Kunduri (wazir Sulthan Togrel Bek). Karena itu menurut penilaian pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl as-Sunnah, filsafat dan Mu’tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi dan masa seperti inilah al-Ghazali  lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah. 

Cari Blog Ini