Latest Updates

BIOGRAFI AL-GHAZALI

A.   Al-Ghazali  dan Lingkungan Keluarganya

Al-Ghazali  dikenal sebagai seorang teolog Muslim, ahli pendidikan, dan sufi abad pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus (sekarang dekat Meshed), sebuah kota di Persia. Sekarang daerah tersebut termasuk dalam propinsi Khurasan, Iran. Ia meninggal dunia di kampung halamannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Thaburan, wilayah Thus.)

Imam al-Ghazali ,) nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali  at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali  saja.Al-Ghazali  juga populer dengan sebutan Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama), al-Faqih asy-Syafi’i, dan Bahrun Mugriq. Ia juga dijuluki the Spinner yang berarti pemintal atau penenun.

Al-Ghazali  hidup pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah II. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di Thus, di luar kesibukannya, ia senantiasa menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan para ulama. Al-Ghazali  juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali  yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520). Kondisi keluarga yang religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama besar. Hanya saja saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding al-Ghazali  yang menjadi penulis dan pemikir.Ayah al-Ghazali  adalah seorang pencinta ilmu, bercita-cita tinggi, dan seorang muslim yang saleh yang selalu taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali  dan saudaranya, Ahmad masih kecil.Margaret Smith mencatat bahwa ibu al-Ghazali masih hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan saudaranya Ahmad sudah menjadi terkenal.

Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia sempat berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, Yaitu Muhammad dan Ahmad, dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya tambahan. Maka al-Ghazali  dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali  yang penuh arti sampai akhir hayatnya.

Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali  adalah salah seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali  adalah  pakar ilmu syari’ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf, Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali  telah menulisnya secara mendalam, murni dan bernilai tinggi.

Banyak tokoh yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali. Imamal-Haramain (seorang mantan gurunya) misalnya, ia berkata “Al-Ghazali  adalah lautan tanpa tepi”. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam Muhammad bin Yahya berkata, “Imam Al-Ghazali  adalah asy-Syafi’i kedua”. Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya, yaitu Abu al-Hasan ‘Abdul Ghafir al-Farisiy, beliau mengatakan, “Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum Muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang  tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya, ucapannya, kecerdasan maupun tabiatnya.”

Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya spiritual. Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majlis dan khalwat mereka. Ia mempunyai sikap begitu mengagungkan yang mewarnai panca inderanya untuk berbakti kepada tokoh – tokoh agama dan ilmu pengetahuan, hingga ketika mendengar seorang penceramah atau seorang ahli hukum Islam sedang memberikan nasehat beliau memohon kepada Allah agar dianugerahi seorang ayah yang menjadi penceramah yang ahli memberi nasehat atau seorang ilmuan yang ahli ibadah.

Nampaknya, perasaan dan kecintaan psikologis yang menggelora ingin mencapai tingkat keluhuran ilmiah dan pensucian terhadap pakaian agama ini telah diwarisi oleh Al-Ghazali dari ayahnya, tetapi dalam bentuk lain. Karena sang anak mendapat kesempatan yang tidak ada pada sang ayah. Pada diri Al-Ghazali selalu kehausan dan terpacu untuk mencari tambahan dan serius mengkaji berbagai ilmu dan pengetahuan.[2]


B.    Pendidikan dan Karier Intelektual Imam Al-Ghazali  
Pendidikan al-Ghazali  di masa anak-anak berlangsung dikampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka. Dan kepadanyalah kali pertama al-Ghazali  mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh mereka, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus. 

Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin Mus’idah al-Isma’iliy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-Isma’iliy.

Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali  yang telah berusia 20 tahun berangkat lagi ke Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang ulama Asy’ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478 H. Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali  belajar kepadanya dalam bidang Fiqh, ilmu debat, Mantiq, Filsafat, dan ilmu kalam. Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali  dengan bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur. 

Disamping itu, al-Ghazali  juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu ImamYusuf al-Nasaj dan Imam Abu ‘Ali al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin ‘Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad al-Khuwariy, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i al-Zauzani, al-Hafiz Abu al-Fityan ‘Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi al-Dahistaniy, dan Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi.

Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali  mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan ‘Adud ad-Daulah Alp Arselan (455 H/1063M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465 H/1072 M-485 H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-‘Askar, sebuah kota di Persia. Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk. Wazir kagum atas pandangan-pandangan al-Ghazali  sehingga al-Ghazali  diminta untuk mengajar Fiqh asy-Syafi’iyah di perguruannya, Nizham al-Mulk, di Baghdad, yang lebih dikenal dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali  mengajar di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M.Pada saat inilah al-Ghazali  yang pada waktu itu berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai puncak kariernya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.

Empat tahun lamanya al-Ghazali  mengajar di Baghdad. Kemudian ia meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H. setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya, dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun 490 H/1098 M. dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina, dan melanjutkan perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun. Namun sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali  mendengar kabar kematian Amir tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan diangkat oleh Fakhr al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari Gubernur Khurasan, Sanjar yang merupakan salah seorang putra Malik Syah, sebagai Presiden dari perguruan di Nisabur pada tahun 1105.Tidak lama di Nisabur, kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari teologi, tasawuf, serta madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali  menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati.

Adapun beberapa tempat-tempat Al-Gazali memperoleh ilmu pengetahuan antara lain:
  1. Belajar di Thus, sampai pada usia 20 tahun. Dia mempelajari ilmu fiqih secara mendalam dari Razakani Ahmad bin Muhammad, dan kemudian dipelajarinya ilmu tasawuf dari Yusuf en Nassaj, seorang Sufi yang terkenal.
  2. Kemudian ke Jurjan pada tahun 479 H. Al-Gazali berpindah ke Jurjan melanjutkan pelajarannya. Guru yang terkenal ialah Nashar el Isma’ili. Tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di Jurjan, maka dia pulang kembali ke Thus selama 3 tahun lamanya.
  3. Setelah itu pindah lagi ke Naisabur untuk belajar pada seorang ulama besar yang sangat masyhur, Imam Haramain Al-Juwaini. Disinilah Al-Ghazali belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, seperti Fiqh, Jadal, Mantiq, Filsafat, dan sebagainya. Setelah Imam Haramain wafat pada 483 H, Al-Ghazali berkunjung ke Nizham Al-Mulk di kota Mu’askar. Beliau memperoleh penghormatan dan penghargaan yang luar biasa, sehingga majlisnya merupakan tempat berkumpul para Imam dan Ulama. Pada tahun 484 H beliau diangkat menjadi guru pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad.
 

C.   Latar Belakang Sosial Politik  
 
1.      Situasi Politik
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari kehidupan politik yang tidak jarang menumbuhkan benih-benih konflik baik internal maupun eksternal. Benih-benih konflik yang terjadi di kalangan umat Islam telah muncul secara jelas sejak masa Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang berselisih dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan pada saat inilah maka umat Islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan Ushul (teologi). Dalam medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah serta lahir Daulat Umawiyah yang berpusat di Damaskus (40-132 H) kemudian Daulat ‘Abbasiyah di Baghdad (132-656 H), disamping sisa Daulat Umawiyah di Spanyol (138-403 H), yang di masa Al-Ghazali  sudah terkeping-keping menjadi kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Tawa’if), dan Daulat Fathimiyyah/Isma’iliyyah di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan adanya pergeseran doktrin politik Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan diwarnai oleh konflik-konflik politik berkepanjangan.
 
Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” (‘Am al-Jama’ah) yang dipelopori oleh al-Hasan bin ‘Ali, Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Umar, tidak terbawa hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa ekses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama” dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh kemurnian Islam dan obyektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu dan dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.
 
Sepanjang perjalanan Daulat ‘Abbasiyah kompetisi dan konflik berlangsung antara Bani ‘Abbas dan Syi’ah-Mu’tazilah yang lebih dominan disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan, krisis politik Dinasti ‘Abbasiyah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas eksklusif Kekhalifahan ‘Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah ‘Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Diantaranya adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063 M) hingga akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M., tiga tahun sebelum al-Ghazali  lahir, sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buwaihi yang sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M).    
 
Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti Saljuk inilah terutama sejak dipegang oleh Sultan Alp Arselan lalu Malik Syah dengan wazirnya yang masyhur, Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya kembali. Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari adanya konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran keislaman.
 
Faktor eksternal yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti ‘Abbasiyah adalah kondisi Dinasti Fathimiy yang menganut Syi’ah Isma’iliyyah di Mesir yang sedang mengalami kemerosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis ekonomi, politik internal maupun karena desakan negara-negara Murabithin yang Sunny-Maliky di Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafiliasi ke ‘Abbasiyah. Sedang ‘Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah Timur dan Utara. Dengan sendirinya Isma’iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569 H) ikut menyusut.
 
Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah berubah drastis, yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-Ghazali. Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik/perang saudara yang berkepanjangan di kalangan istana (internal). Keadaan ini diperparah lagi dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma’iliyyah/Ta’limiyyah di Timur yang melancarkan teror-teror sehingga memakan korban, diantaranya adalah Wazir Nizham al-Mulk.
Dalam situasi seperti ini dunia Kristen Eropa melancarkan Perang Salib di Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syria dan mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils, dan Ruha sejak tahun 490 H/1098 M.
 
Sementara itu al-Ghazali  masih berkhalwat mencari ’ilmu yaqini di Syam dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fathrah (vacum dari pembimbing keagamaan), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dilakukan pembaharuan (tajdid) atau “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (Ihya’ ‘Ulum ad-Din). Dapat disimpulkan, pada saat itu al-Ghazali  hidup dalam suasana dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemerosotan dan kemunduran dalam beberapa aspeknya.
 
2.      Situasi Ilmiah dan Sosial Keagamaan
Pada masa al-Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial kegamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhabfiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme kepada umat. Dan 
terkadang, hal itu juga dilakukan pula oleh pihak penguasa.
Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, di Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab Hanafi. Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan mazhab yang lain, seperti antara mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanbali. Konflik terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy’arisme dengan Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu’tazilah, antara Hanabilah dengan Syi’ah dan antara aliran-aliran yang lain.
 
Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”, yaitu konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah, karena pihak pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim”; dan konflik ini meminta korban seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan Hanabilah dengan Syi’ah; dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara Hanabilah dan Asy’arisme.       
 
Penanaman fanatisme mazhab dan aliran dalam masyarakat tersebut juga banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, di bawah status para penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para penguasa bisa memperoleh semacam legitimasi terhadap kekuasaannya di mata umat; sebaliknya dengan peran penguasa, para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena  itu para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, dan begitu pula sebaliknya. Di samping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di Khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. Di Damaskus pada masa itu, golongan sufi yang hidup di khankah-khankah dianggap kelompok istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa terkabul. Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Status ini, oleh sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan dan kemuliaan hidup dengan saran kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.
 
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural non-Islami terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya, yang pada gilirannya mengkristal dalam bentuk pelbagai aliran dan paham keagamaan, yang dalam  aspek-aspek  tertentu saling bertentangan.
 
Interdependensi antara penguasa dan para ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa yang selalu  memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatan-jabatan intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha pengembangan ilmu ini diarahkan oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu’tazilah. Memang, filsafat waktu itu tidak hanya menjadi konsumsi kalangan elit intelektual, tetapi sudah menjadi konsumsi umum. Bahkan ada sebagian orang yang sudah menerima kebenaran pemikiran filsafat secara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama dan pengamalannya. Adapun Mu’tazilah, selain banyak juga menyerap filsafat Yunani, juga merupakan aliran yang secara historis banyak menyengsarakan golongan Ahlussunnah, baik pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada masa al-Kunduri (wazir Sulthan Togrel Bek). Karena itu menurut penilaian pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl as-Sunnah, filsafat dan Mu’tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi dan masa seperti inilah al-Ghazali  lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah. 

0 Response to "BIOGRAFI AL-GHAZALI"

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung ke blog tentang tugas sekolah ini, silahkan tuliskan komentar

Cari Blog Ini