A. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali
Dalam pandangan Al Ghazali, ilmu terbagi menjadi tiga bagian yaitu: pertama, Ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan).
Kedua, Ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya. Bagi Al Ghazali, ilmu yang wajib ‘ain adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang wajib kifayah adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya yaitu ilmu kedokteran dan ilmu hitung.
Ketiga, Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dapat menyebabkan kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kepada kekafiran seperti ilmu filsafat. Al Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih.
B. Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali
Berangkat dari keyakinan bahwa Akhlaq dapat berubah dan di bentuk melalui pendidikan dan proses usaha keras (Mujahadah), latihan jiwa (Riyadlah), pensucian jiwa dari sifat jelek (Tazkiyah), Al-Ghazali menegaskan tiga hal penting;
- Perbedaan pandangannya dengan kelompok Jabariyah [20]. Al-Ghazali berargumen, bahwa jika akhlak tidak dapat di rubah, maka peringatan, pendidikan Adab dan pesan yang di sampaikan agama tidak ada artinya. Padahal jelas, misalnya sabda Rasul tentang kewajiban memperbaiki Akhlak. Dan fakta bahwa ternyata bukan hanya manusia yang dapat menerima perubahan karakternya, namun juga hewan seperti anjing yang buas, menjadi penurut. Jika akhlak hewan saja dapat berubah, kenapa manusia tidak?
- Hubungan yang tidak dapat terlepas antara pembentukan akhlak dengan agama. Melalui pendapatnya bahwa, jika akhlak tidak dapat di bentuk seperti persangkaan kaum Jabariyah, maka, ada tidaknya agama tidak menjadi penting. Pesan, peringatan dan didikan agama akan menjadi sia-sia, Al-Ghazali ingin menegaskan bahwa pembentukan akhlak kiranya harus di dasarkan kepada ajaran agama, karena ia sendiri merupakan sarana untuk mendapat keridlaan Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan kalangan pendidik modern yang menyatkan bahwa akhlak haruslah di dasarkan kepada nilai dan morma sosial yang berlaku.
- Pentingnya peran guru dalam pembentukan akhlak. Di akui dalam dunia pendidikan, bahwa peran guru dalam membentuk kepribadian anak didik sangatlah penting dan menentukan. Misalnya para pakar seperti Al-Hazimy, Abu Lawi, Abul Hasan An-Nadwi dan para pakar pendidikan modern, ketika menjelaskan tentang metode pendidikan, faktor keteladanan (Qudwah) guru menjadi sangat penting. Ketika pendidikan modern meyakin kalau anak didik cenderung mengikuti perilaku gurunya karena ia adalah peniru paling ulug, maka harus di sepakati jika peran guru sangatlah penting.
Dalam hal ini al-Ghazali berpendapat, mencari guru yang dapat mengantarkan anak didik menuju kepribadian yang suci dengan menghapuskan akhlak yang jelek, sangatlah penting. Guru ibarat petani yang menyingkirkan duri dari ladangnya dan merawat tanamnnya dengan baik baik, agar dari ladang tersebut, dapat menghasilkan buah yang baik dan sempurna. Jadi, guru mempunyai tugas yang berat yaitu mengantarkan anak didik berakhlak mulia, dan menggali potensinya. Guru harus menguasai ilmu agama terkait pembentukan akhlak dan ilmu seputar penggalian potensi anak didik tersebut.
C. Pendidikan Anak Menurut Al-Ghazali
Ketika manusia mempunyai tugas dan bertanggung jawab untuk kemakmuran dunia, maka dia membutuhkan pendidikan yang menyeluruh dalam setiap aspek dan setiap fase dalam kehidupannya dalam rangka kemakmuran tersebut. Kalau di Tanya, kapan dia memulai pendidikannya? Mungkin jawaban yang paling bijak adalah; saat dia mampu menerima pendidikan. Mulai dari usia dini di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), Remaja di Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan usia Remaja di Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga menuju pendidikan tingkat tinggi di Universitas.
Al-Ghazali melihat bahwa pendidikan anak usia dini sangatlah penting, karena pembentukan kepribadian sejak kecil, akan berdampak kepada fase kehidupan setelahnya, menancap dalam, seperti lukisan di atas batu. Di mulai dari pendidikan keluarga dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajarannya, misalnya; dengan tidak membiasakan hidup dalam kenikmatan dan mengisi fitrahnya dengan bacaan al-Qur’an, memberikan hadiah dalam setiap tingkah laku dan tindakan yang baik dari anak untuk menancapkan rasa percaya diri dalam dirinya, tidak menonjolkan kesalahan yang ia buat serta memberikan izin kepada anak untuk bermain dan beristirahat sekedarnya, karena melarang bermain bagi anak akan mematikan rasa dari hatinya dan menghancurkan potensi kecerdasannya.
Kemudian di lanjutkan dengan pemahaman tentang kewajiban dan hikmah yang terkandung di dalamnya serta larangan dan alasan di jauhinya. Tentang kewajiban misalnya, seperti:
- Berbakti kepada kedua orang tua, dan menghormati yang lebih tua.
- Memperlakukannya dengan penuh kemuliaan, seperti, dengan tidak iktu serta bermain dengannya.
- Tidak memberikan toleransi saat meninggalkan sholat.
- Melatih puasa ketika bulan Ramadlan.
- Melarang memakai pakaian dari sutera dan emas.
- Memberikan pemahaman tentang kewajiban yang harus di lakukan seperti sholat dan lainnya. Sedangkan tentang larangan yang harus di jauhi seperti; mencuri, memakan barang haram, berkhiantan, berbohong dan lainnya
0 Response to "Konsep Ilmu, Pendidikan Akhlak, dan Pendidikan Anak Menurut Al-Ghazali"
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung ke blog tentang tugas sekolah ini, silahkan tuliskan komentar